
Istri yang Tak Lagi Sama
Suara desahan perempuan itu bergema samar di balik dinding kaca ruang direktur. Lampu remang-remang, aroma parfum mahal bercampur keringat tubuh, dan denting sabuk jatuh ke lantai jadi latar irama yang tak pernah seharusnya terdengar di kantor jam kerja.
Andi Tanuwijaya, bos besar pabrik besi, berdiri setengah telanjang di belakang sekretaris barunya yang menunduk di atas meja. Kemejanya sudah robek di bahu, dasi melingkar di pergelangan tangan. Tubuhnya yang mulai gemuk menggeliat dengan irama yang menggebu, mengejar klimaks dengan napas memburu.
"Cepet... dikit lagi..." bisiknya di telinga perempuan itu.
Tapi pintu mendadak terbuka.
Andi menoleh—dan dunia seolah membeku.
Lilian berdiri di sana. Sepatu hak tinggi merah menyala. Bibirnya dilapisi merah tua. Tubuh putih langsingnya dibalut gaun ketat seperti yang biasa dipakai saat makan malam formal—tapi matanya... matanya bukan mata seorang istri yang cemburu. Itu mata seekor singa betina.
Perempuan di depan Andi menjerit, buru-buru menarik pakaiannya dan lari keluar ruangan tanpa berani menoleh lagi. Tapi Lilian tak melihatnya sedikit pun.
Dia hanya menatap Andi.
Andi ingin bicara, tapi tak ada suara keluar. Mulutnya terbuka, wajahnya memucat. Dia merasa telanjang, meski tubuhnya sudah setengah tertutup lagi.
"Lilian... aku... bisa jelaskan..." gumamnya pelan.
Lilian berjalan masuk pelan. Menutup pintu. Suara klik dari kunci membuat jantung Andi nyaris berhenti.
"Bisa jelaskan?" Lilian tersenyum kecil. "Lucu juga. Jadi kamu yang suka ngatur-ngatur di rumah, ternyata diam-diam ngatur juga di belakang meja ya?"
Andi hanya bisa menunduk.
"Tapi kamu sial. Karena aku datang." Lilian menatapnya tajam. "Dan sekarang, karena kamu udah bikin aku jijik, aku akan bikin kamu lebih hina dari cewek yang tadi kamu tidurin."
Dia berdiri, menarik gaunnya perlahan hingga naik ke pinggul, memperlihatkan pahanya yang mulus dan celana dalam hitam renda yang basah di tengah. Dia duduk di atas meja, mengangkat satu kaki dan menunjuk ke antara pahanya.
"Lutut. Sekarang."
Andi tertegun.
"Kalau kamu masih ingin bisnis kamu hidup, kalau kamu masih ingin hidup nyaman di rumah yang aku bantu bangun, kamu akan sujud dan bikin aku meledak di wajahmu."
Wajah Andi merah. Bukan karena marah—tapi karena malu, takut, dan… terangsang. Tubuhnya masih setengah keras sejak adegan sebelumnya, dan kini makin terasa berdenyut.
Andi menuruti, perlahan berlutut di depan istrinya. Lilian membuka celana dalamnya dan melemparkan ke meja.
"Jilat," bisiknya dingin.
Lidah Andi mulai menyentuh bagian tersembunyi istrinya. Lilian menutup matanya, membiarkan gelombang panas menjalar naik ke perutnya. Tangannya mencengkeram rambut Andi, menariknya lebih dalam. Tubuhnya menggeliat.
"Lagi. Sampai aku puas. Kamu nggak boleh berhenti sampai aku bilang selesai."
Andi tak berani melawan.
Dan ketika Lilian mencapai klimaks, dia mendorong kepala suaminya lebih dalam, menggeliat hebat sambil mendesah panjang. Lalu, dia menurunkan kakinya pelan, menarik napas sambil berdiri.
Dia menatap Andi yang masih berlutut, wajahnya basah, nafas berat, dan batangnya keras tak tertahankan.
Lilian menyeringai.
"Kamu keras ya?" tanyanya dingin. "Sayang, kamu nggak boleh pakai itu. Hukuman kamu belum selesai."
Dia membenarkan gaunnya, mengambil celana dalam yang tadi dia lempar, dan menyelipkannya ke saku Andi.
"Bawa itu pulang. Cium tiap malam. Tapi jangan sentuh dirimu. Sampai aku izinkan."
Dan dia pergi. Meninggalkan Andi sendirian di ruang itu—terhina, ngaceng, dan tak bisa apa-apa.
Langkah Lilian terdengar mantap menyusuri koridor kantor Andi, seolah ia tak baru saja melihat sesuatu yang bisa menghancurkan rumah tangga siapa pun. Wajahnya datar, matanya dingin, tapi di balik itu semua... pikirannya menari liar.
Ia tak marah. Ia bahkan tak merasa dikhianati. Karena apa yang ia lihat barusan, justru memberinya celah. Celah besar untuk membuat Andi sepenuhnya dalam kendalinya.
Sambil menuruni lift, Lilian mengeluarkan ponsel dari tas kecilnya. Bibirnya tersenyum kecil. Jari-jarinya lincah membuka kontak bernama: "PRAM MANJA".
Telepon tersambung dalam dua dering.
"Mas... kamu bisa ketemu malam ini nggak?" suara Lilian lembut, manja seperti bisikan di sela angin panas.
"Hah? Sekarang? Bisa, Sayang... asal kamu ada bawa uang. Aku butuh banget nih, bayaran kos belum lunas," suara Pram terdengar agak serak, seperti baru bangun tapi tetap nakal.
Lilian tersenyum lebar, menggoda. "Kalau kamu bisa bikin aku puas... aku kasih lebih. Tapi jangan kayak waktu itu, ya. Aku maunya kamu habisin aku malam ini."
"Wah, gitu dong. Deal, Sayang. Aku siap... apalagi kalau kamu yang minta. Jam berapa dan di mana?"
"Hotel biasa. Jam delapan. Aku mau kamu garuk aku sampai aku lupa nama suamiku."
"Siap, Bos!" kata Pram tertawa kecil sebelum telepon ditutup.
[POV PRAM — PAGI YANG BASAH DI KOSAN]
Sebelum telepon itu masuk, Pram terbangun dalam kondisi separuh sadar. Matahari belum tinggi. Udara di kamar sempitnya masih lembab. Tapi ada sesuatu yang membuatnya tak bisa tidur kembali.
Lidah hangat, lembut, bermain pelan di batangnya yang perlahan mengeras. Pram mengerang pelan, lalu menoleh ke bawah. Di sana, terlihat kepala berambut cokelat ikal milik si Rani — mahasiswi semester akhir, tetangga kosnya yang akhir-akhir ini sering mampir.
"Kamu beneran doyan beginian pagi-pagi?" gumam Pram setengah ngantuk.
Rani hanya terkikik pelan, lalu memperdalam hisapannya. Pram menggeliat, batangnya kini tegak sempurna, menonjol kuat dengan urat-urat kasar menyembul dari pangkal ke ujung.
Tak lama, Rani naik ke atas tubuh Pram dan menungganginya perlahan. Napasnya memburu, tubuhnya panas, dan sempitnya kamar itu justru membuat semua terasa lebih liar.
Desahan mereka bersahutan. Tempat tidur reyot berderit keras, tapi tak ada yang peduli. Pram menggenggam pinggul Rani, menariknya lebih dalam, lebih cepat. Rani menjerit pelan saat orgasme pertama datang, tubuhnya gemetar.
Saat mereka hendak selesai — tubuh Pram menegang, bibirnya siap menyebut nama Tuhan — ponselnya tiba-tiba bergetar. Ia sempat ingin mengabaikannya, tapi nama di layar membuatnya berubah pikiran.
"LILIAN "
"Sial..." gumamnya pelan, lalu menepuk pinggul Rani. "Nanti lanjut lagi ya, Sayang... ini yang nelpon... wajib."
Rani cemberut, tapi bangkit dan mengambil handuk. Pram pun mengangkat telepon — dan adegan pun kembali ke percakapan sebelumnya.
Dengan batangnya masih keras, dan tubuhnya masih setengah panas, Pram tahu malam ini akan lebih liar dari sebelumnya.
Dukung saya dengan cara Like Koment dan share
Yang punya Nafsu Gede Bisa Donasi RP JUGA
Cek juga
https://karyakarsa.com/DSASAXI88
victie.com/app/author/49673
726Please respect copyright.PENANAsROGfiaWbr